Perkembangan teknologi informasi membuka gerbang kepada setiap orang untuk dapat mengenal produk budaya dari manapun. Tidak perlu pergi ke Amerika untuk hanya melihat patung Liberty atau Whitehouse. Tidak perlu ke Eropa hanya untuk melihat menara Eifel di Perancis atau Menara Pisa di Italia. Tidak perlu ke Cina hanya untuk melihat Great Wall atau ke Thailand hanya untuk melihat Angkorwat. Gambar-gambar itu dengan mudah didapat berkat teknologi informasi yang memperpendek dimensi ruang dan waktu.
Orang kemudian beramai-ramai memasarkan produk budayanya. Amerika Serikat membangun Hollywood sebagai sarana memasarkan produk budayanya. Demikian juga India dengan Bollywood. Jepang, Cina, dan Korea pun tidak ketinggalan dengan strategi pemasaran budaya yang relatif sama yaitu serial drama, musik, dan cinema. Semua itu mendukung pemasaran produk-produk mereka seperti alat elektronik, alat rumah tangga, makanan, dan otomotif. Infiltrasi budaya ini mempengaruhi selera masyarakat.
Produk budaya itu kemudian membanjiri media sebagai produk perkembangan teknologi informasi. Hampir tidak ada bagian dunia yang terpapar oleh media tidak mengenal apa itu film Hollywood, Bollywood, atau K-Pop. Masyarakat dunia seperti tersihir dan terdorong untuk meniru gaya artis atau tokoh yang bermain dalam produk budaya tersebut. Tidak heran banyak anak yang ingin mengidentikan dirinya dengan Naruto, Dora, Ipin-Upin, atau Khrisna. Infiltrasi budaya sepertinya adalah bentuk imperialisme modern.
Serbuan budaya asing ini perlahan-lahan menggerus kedekatan masyarakat Indonesia dengan budaya dan kearifan lokal. Anak kemudian lebih asik bermain dengan konsul seperti Playstation, X-Box, PSP, dan sebagainya. Atau gadget seperti komputer jinjing, ponsel, atau tablet. Produk ini menggeser posisi layangan, engrang, kelereng, atau gasing. Serbuan budaya ini juga membuat anak juga lebih mengenal dan menikmati hiphop, rock, beat box, shuffle dance, atau break dance. Di lain sisi, semakin langka anak yang mengenal dan menikmati lagu-lagu serta tarian daerah yang etnik dan khas di setiap daerah.
Hakekatnya bukan sebatas mengenal permainan, lagu, atau tarian daerah tapi meresapi kearifan lokal yang tumbuh selama bertahun-tahun di daerah tersebut. Contoh paling nyata adalah penduduk pulau Simeuleu yang seluruhnya selamat dari bencana tsunami yang memakan ratusan ribu korban jiwa dari Aceh, Thailand, sampai Srilangka. Ternyata penduduk Simeuleu memiliki kearifan lokal untuk pergi ke atas bukit ketika terjadi gempa. Jelas kearifan lokal ini muncul dari keinsyafan penduduk Simeuleu terhadap lingkungan tempat tinggal mereka. Penduduk Simeuleu paham dengan kondisi geografis Indonesia dengan "lingkaran api" dan patahan yang berpotensi gempa juga menyimpan potensi tsunami.
Dari sini saya ingin menyampaikan bahwa pendidikan kebudayaan adalah bekal untuk menyelamatkan bangsa ini. Budaya dan rasa keindahan yang dibangun bertahun-tahun lamanya membawa kearifan bangsa ini untuk bisa bersahabat dengan alam Indonesia yang punya potensi bencana. Dengan mengembangkan kearifan lokal bangsa ini menjadi kebudayaan nasional kita bisa membangun dan menyelamatkan anak-anak kita di masa depan. Bukan hanya menyelamatkan bangsa Indonesia dari bencana alam tapi juga menjadi antitesis permasalahan ekonomi dan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia.
Adil Quarta Anggoro (Alumni Forum Indonesia Muda)
Divisi Kerjasama dan Pengembangan Wilayah
Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar