1. Meningkatnya Kriminalitas
2. Resiko terhadap Psikologis dan Pendidikan
3. Resiko Kultural ( Pergeseran Nilai-nilai )
4. Resiko Kesehatan
MENINGKATNYA KRIMINALITAS
Berita perkosaan dengan pelaku dan korban mulai usia dewasa sampai anak-anak, kini menjadi santapan kita setiap hari lewat televisi dan koran-koran. Tidak heran ribuan anak-anak yang seharusnya riang gembira meniti masa muda dengan seabreg prestasi, kini mebelenggukan diri kepada pencuri masa depan di balik dinginnya tembok LP Anak. Kasus pemerkosaan yang dilaporkan kepada Polres Jakarta Timur misalnya juga meningkat 300% dalam kurun waktu 2002-2003. Menurut data Pusat Kajian dan Perlindungan Anak ( sebagaimana yang di kutip kabareskrim Polri Makbul Padmanegara 2006 ) 75% pelaku perkosaan mengakui perbuatannya dilakukan setelah menonton film porno.
Aborsi yang di Indonesia termasuk perbuatan kriminal, saat ini sangat tinggi. Angka yang disebutkan mantan mentri urusan perempuan dan peranan wanita Khofifah Indar parawangsa adalah 3,3 juta pertahun. Meski versi seorang peneliti dari Universitas Indonesia menyebutkan angka 2,2 juta pertahun. Yang jelas, setiap tahun selalu saja mencuat kasus terbongkarnya aborsi yang dilakukan oleh para dokter lewat klinik gelap, setelah jatuh korban meninggal. Tragisnya, korban rata-rata adalan pelajar dan mahasiswa.
Bahwa pornografi memicu agresifitas dan pada akhirnya memicu seseorang melakukan perbuatan kriminal juga disebut Dr Mary Anne Layden seorang peneliti yang juga direktur program psikopatologi dan trauma seksual dari University of Pennsylvania,
”Saya telah memberikan pendampingan terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual selama 13 tahun. Dan saya belum pernah menangani 1 kasus pun yang tidak diakibatkan oleh pornografi,” ucapnya dalam statement yang dikutip banyak aktifis anti pornografi itu.
RESIKO PSIKOLOGIS DAN ANCAMAN TERHADAP PENDIDIKAN
Dr Layden juga mengatakan bahwa gambar porno adalah masalah utama pada kesehatan jiwa penduduk dunia saat ini. Pornografi yang hanya memicu ketagihan yang serius, namun juga membentuk pergeseran emosi dan perilaku sosial masyarakat.
Menurut Prof Victor.B.Cline, seorang periset psikososial dan pornografi, mengungkapkan ada 4 tahapan perkembangan kecanduan seksual para konsumer pornografi :
- Adiksi : ketagihan
- Eskalasi: Peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku yang semakin menyimpang misalnya seks dengan hewan, kekerasan atau sesama jenis.
- Desentisisasi : Kian menipisnya sensitifitas. Pelaku kian permisif dan tidak peduli dengan kejahatan ( terutama kejahatan seksual ) disekitarnya.
- Acting Out : Pecandu pornografi mulai mempraktekan ( melakukan tindakan di dunia nyata ) Mencari pasangan bersetubuh, mulai relasi suka sama suka, yang halal maupun yang haram. Jika tidak ada maka mereka akan mencari budak nafsu yang bisa dibeli ( pekerja seks komersial/pelacur ). Bagi mereka yang tidak punya istri/suami, dan tidak punya uang untuk mencari wanita panggilan, maka mereka akan memperkosa siapa saja. Yang paling mudah tentu saja anak-anak. Maka tidak aneh, kian hari kasus perkosaan terhadap anak-anak juga kian meningkat.
Bagi anak-anak di bawah umur, masalah akan kian runyam karena pornografer mengaktifkan jaringan seks terlalu dini.
Tuhan menciptakan 6 jenis hormon yang seharusnya aktif pada saat hubungan seks dilakukan dengan pasangan yang menikah dengan resmi. Kini hormon-hormon tersebut diaktifkan pada anak, dan tanpa pasangan.
Menurut psikolog Elly Risman pimpinan Yayasan Kita dan Buah Hati, setelah mengkonsumsi pornografi anak-anak dan remaja secara perlahan-lahan akan terbangun perpustaan porno di otaknya. Elly Risman menyebut hal tersebut dengan istilah MENTAL MODEL. Perpustakaan inilah yang setiap saat bisa diakses anak-anak. Makin lama makin tak dapat lagi dirubuhkan. Karena itu banyak ahli berpendapat, kecanduan pornografi lebih berbahaya dari pada kecanduan narkoba, karena tidak ada program yang ampuh menyembuhkannya. Bagi mereka yang sudah terkena racun pornografi ( Visual Crack Cocain/ Erototoxin ), semua yang diangan dan di kepalanya adalah hal-hal yang berbau porno. Melihat Ibu gurunya yang berkerudung panjang di depan kelas, yang ada di matanya adalah Ibu guru tanpa pakaian seperti yang biasa dia lihat/tonton.
Jika itu yang terjadi, anak tak bisa lagi tidur sebelum mengkonsumsi pornografi. Energi anak terkuras untuk kenikmatan berfantasi. Jadi bagaimana mereka bisa belajar dan berprestasi ?
PERGESERAN NILAI-NILAI
Maraknya pornografi yang dari hari ke hari, kini tergambar jelas di berbagai media, terutama media internet. Pornografi tidak hanya mudah diakses di situs porno berbayar, namun juga merambahi situs-situs jejaring sosial. Begitu mudah dan biasanya anak-anak muda yang berstatus pelajar dan mahasiswa membuka seluruh bagian tubuhnya di chatroom misalnya, Tak salah media televisi tidak malu-malu ikut ambil bagian, termasuk mengekspos perilaku seks bebas di kalangan selebriti. Dalam masyarakatpun demikian, kehamilan di luar nikah, seks di luar nikah, perilaku seks menyimpang, pelibatan anak dalam prostitusi, hingga perselingkuhan tidak lagi dianggap suatu kejahatan. Pornografi menjadi biang runtuhnya nilai-nilai agama, moral, tananan keluarga dan Pancasila
RESIKO KESEHATAN
Menurut ketua divisi Kesehatan ASA Indonesia Dewi Inong Irara, seorang dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin, Penyakit Menular seksual ( PMS ) adalah salah satu produk akhir dari pornografi. Kisah sederhananya begini, begitu seseorang kecanduan pornografi, akan terjadi tahapan tertentu sesuai kadar kecanduan. Dan ketika sudah sampai pada tahap 2-3 hingga empat, akan ada perubahan perilaku dan kecenderungan untuk mempraktekannya di dunia nyata.Untuk itu mereka akan dihadang oleh resiko kesehatan yang antara lain berupa :
1.Infeksi alat kelamin luar & dalam
2. Komplikasi : Pada wanita radang panggul, kemandulan, hamil di luar kandungan; Pada pria kemandulan, penyempitan.
3. Penyakit alat kelamin dalam kronis
4. Kanker kelamin
5. Menulari bayi dalam kandungan ( lahir cacat )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar