Jumat, 18 Juni 2010

Media-media Pemapar Pornografi

Hasil pengamatan ASA Indonesia akhir tahun 2008 yang dilakukan terhadap pelajar SMP di Jabodetabek dan Palembang sungguh mengejutkan. 100 % anak-anak tersebut telah terpapar pornografi, 32 % di antaranya sudah sampai pada tahapan ” Eskalasi ” Dengan handpphone sebagai media penyebaran terbesar.

Kemudian data kompilasi YKBH sejak 2007 sampai Agustus 2008 dengan responden anak sekolah dasar kelas 4-6, dengan hasil 80 % anak mengaku telah terpapar. Akses pornografi yang paling banyak menyenggol anak-anak SD versi YKBH tersebut adalah komik 27%, games 16%, TV 13% HP juga 13%, internet 12%, VCD/DVD 10%, majalah 6%, koran 2%, dan novel tetap 1%. Jadi komik, handphone dan televisi tetap yang paling harus ekstra diwaspadai tanpa melupakan jeratan media lain


HANDPHONE

Teknologi membuat hidup lebih mudah. Tapi teknologi sekaligus juga menyisakan ampas yang kalaulah manusia tidak bisa mensiasati dengan bijak, justru akan membawa petaka yang kerusakannya jauh lebih besar ketimbang manfaat yang didapat.

Saat ini hampir semua anak sekolah mulai tingkat lanjutan pertama sudah memiliki telepon genggam. Bahkan tidak sedikit orang tua yang sudah memfasilitasi anaknya HP sejak sekolah dasar. Sebagian orang tua berlomba membelikan anaknya telepon genggam tercanggih, meski dia sendiri tak paham cara mengoperasikan semisal kirim bluetooth, mengakses internet dan sebagainya.

Hasil razia di sekolah-sekolah diketahui banyak anak-anak mengoleksi materi pornografi secara tidak sengaja dikirim kawan, atau juga ketika menservis HP ternyata sudah diisi dengan gambar atau video-video haram itu. Sebagian mengaku iseng dan sekedar ingin tahu karena ada trend video porno ’ made in’ lokal dengan pemeran utama kawan satu daerah atau mungkin juga satu sekolah.

Data base ASA menunjukkan, sebagian besar foto dan video porno itu merupakan hasil rekaman kamera handphone. Lihat saja kasus video porno Bengkulu, Depok, Cibinong, Bekasi, Rangkas Bitung, Tegal, Bandung, Jogja dan entah mana lagi.

Ragam kasus foto dan video porno yang diproduksi telepon genggam ini berdasarkan urutan yang terbanyak merupakan hasil :
  1. Peeking: foto&video yang dibuat pornografer dengan cara mengintip. Korban diambil gambarnya ketika sedang berada di toilet umum atau kamar hotel yang sudah dipasang kamera. Misalnya kasus artis Femy Rahmasari cs yang difoto ketika ganti baju di toilet sebuah rumah produksi.

  2. Private Party: dokumentasi pesta pribadi semisal kasus YZ dan ME

  3. Play Dare : permainan tantangan yang dilakukan sekelompok anak muda, misalnya taruhan siapa yang berani berfoto setengah telanjang, tampak dada, kemudian tawaran semakin tinggi, dan pose semakin ’gila’. Sebuah program televisi yang bisa diakses lewat TV kabel tahun 2006 bahkan menyiarkan adegan 2 pasang remaja bermain hockey dengan telanjang bulat. Permainan tersebut kini lebih berani di situs pertemanan di dunia maya. Hasil pantauan ASA, setiap hari kerja di atas jam 21.00, chatroom dipenuhi dialog dan gambar-gambar remaja yang berbugil ria atas tantangan kawan-kawan chatnya. Pada hari libur aksi tersebut bisa 24 jam nonstop.

  4. Monkey love : oto dan Video mesum para remaja yang tersandung cinta monyet. Mereka bereksperimen berpose dan beradegan seperti yang mereka pernah lihat/tonton. Kemudian pose dan adegan itu mereka abadikan. Kasus video porno Rangkas Bitung termasuk salah satunya. Pada tanggal 16 Agustus 2007 silam, 6 potong adegan persetubuhan antara remaja putri pelajar SMP dan remaja putra pelajar SMA di Rangkas Bitung ini dieksploitasi sebuah harian ibukota, dengan memajangnya di halaman depan sebagai headline. Kemudian ASA Indonesia mengadukan tindakan tersebut ke Polda Metro Jaya.
KOMIK

Siapa sangka komik anak-anak yang cover depannya terlihat selayaknya komik cerita dan dongeng anak-anak yang digambar ala teknik ’manga’ Jepang, ternyata bermuatan pornografis.

Komik-komik ini bukan saja sekedar menggoda anak-anak dengan pornografisnya, namun juga mencuci otak anak-anak dengan ideologi ’gila’ yang menghasut anak-anak membenci guru dan orang tua, serta pelajaran seperti matematika, biologi, bahasa dan memaki departemen pendidikan.

FILM LAYAR LEBAR/TELEVISI/VCD/DVD

Perjuangan para sineas kita untuk menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri agaknya setapak demi setapak kini mulai menampakan hasil. Intelektual dan pekerja seni yang terlibat mulai dari produser, penulis skenario, sutradara, pemain hingga crew memang 100% lokal, namun bagaimana dengan nilai-nilai yang disampaikan ?
Ini yang jadi masalah !

Film BCG sempat menuai kritik masyarakat pada tahun 2004. Namun setelah kritik reda, muncul film-film lain yang justru makin ganas menebar pesan yang jauh dari nilai-nilai luhur bangsa. Sebut saja film ” V” yang memberikan ” Semangat” kepada remaja putri untuk tidak perlu ragu dan malu menjual keperawanan untuk sekeping telepon genggam berkamera. Ada Film ”A” yang menceritakan kehidupan homoseksual ( padahal di negara tetangga Singapura ini sudah termasuk tindak kriminal dengan ancaman section 337 ).

Ada pula film Q yang secara gamblang memberikan tools kepada anak muda untuk menjadi gigolo yang profesional, dengan tujuan mendapatkan kekayaan dalam sekejap. Selain memkampanyekan kehidupan seksual menyimpang di kalangan atas, film ini juga menginspirasi orang untuk mengucapkan humor cabul. Yang tak kalah menggemparkan adalah film PPC yang menurut Titie Said ketua Lembaga Sensor Film ( LSF ) ” Sangat Bermasalah ”. 
Selain bermuatan pornografis, film ini juga dianggap menghina perempuan, utamanya perempuan Islam yang di dalam film ini divisualkan dengan atribut kerudung, namun dengan dengan gaya hidup bermandikan maksiat. ” Saya saja yang beragama Kristen ikut tersinggung ” tambah Rae Sita, mantan artis yang kini juga menjadi salah seorang anggota LSF dalam sebuah audiensi dengan ASA Indonesia akhir Oktober 2008. Yang lebih memprihatinkan film ini dibuat oleh seorang sineas perempuan muda atas biaya sebuah lembaga asing. Tidak aneh jika ada sekelompok budayawan senior menyayangkan ketika film ini dibawa ke Amerika untuk diputar di sebuah komunitas yang merepresentasikan film Indonesia. Tentu menjadi tanda tanya besar, kenapa film yang melukai perasaan orang beragama ini bisa lolos menggantikan ” Naga Bonar Jadi 2 ” yang jelas pesan semangat nasionalismenya yang kental ?.

Kenapa tidak ada satu kelompok pembela perempuan atau HAM atau kelompok muslimahpun yang protes ? Jawabnya bisa jadi karena ketidak tahuan mereka, asal jangan karena sudah tidak ada lagi yang peduli.

Oya, jika kita malas dan sungkan menonton di bioskop, maka sekarang di pinggir jalan film-film tersebut dijajakan dalam bentuk VCD/DVD bahkan sampai di depan kompleks sekolahan sekalipun. Harganyapun sangat murah, hanya 2 ribu rupiah per keping. Itu termasuk VCD/DVD biru.

Lalu bagaimana dengan televisi ?

Saat ini jangkauan televisi teramat luar biasa. Apa saja gaya hidup anak kota, dengan seketika menjalar ke pedesaan. Mulai dari cara berpakaian sampai gaya bicara. Jangan aneh, di sebuah dusun yang sunyi di ujung pulang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Irian, anak-anak muda saling memanggil dengan sebutan ” Lo-gue”

Menurut majalah Tempo edisi 19 Maret 2006, stasiun televisi TPI siarannya menjangkau 138 kota dengan 129,7 juta pasang mata memplototinya.

SCTV menjangkau 260 kota dengan populasi 167,8 juta jiwa. Indosiar di 176 kota dengan 170 juta jiwa pemirsa dan RCTI di 390 kota dengan 169,9 juta pemirsa.
Ini yang lebih memprihatinkan. Jika film layar lebar orang memerlukan niat dan usaha yang kuat karena harus keluar rumah dan membeli tiket dengan harga mahal, tapi untuk televisi ? masyarakat tanpa pandang usia tinggal mengambil remote control dan sekali klik sudah dapat mengakses berbagai tontonan yang sangat tidak layak didik di ruang-ruang keluarga rumah tangga kita, bahkan di kamar-kamar pribadi.

Selain kekerasan dan tontonan yang berbau mistis, para pengusaha rumah produksi saling berlomba menjual mimpi dengan target anak muda sebagai korban dan pemancing. Begitu banyak film-film bermuatan pornografis diputar pada saat anak-anak belum tidur. Yang menyesakkan dada, film-film yang memberi pelajaran tentang tehnik berciuman hingga melegalkan seks bebas ini di kanan atas layar ditulis BO ( maksudnya Bimbingan Orang tua ). MasyaAllah..bimbingan seperti apa yang dapat diberikan para orang tua jika di layar kaca dipertontonkan adegan cabul antara sesama remaja dengan mengkesploitasi seragam sekolah, bahkan ada antara guru dengan murid, yang lebih gila adalah adegan percintaan antara ayah dengan anak bahkan sesama jenis. Herannya kenapa tontonan seperti ini lolos di media kita. Bukankah pemerintah sudah mendirikan lembaga sensor film ( LSF ) ? Sejauh mana Komisi Penyiaran Indonesia ( KPI ) punya kekuatan untuk mengatur materi penyiaran ? kenapa lembaga-lembaga yang mendapat tugas mulia ini terlihat tidak berdaya dan belum bekerja dengan maksimal sebagaimana yang diamanahkan ? Begitu besarkah kekuasaan indutri ? ( sayang jawabnya jelas Ya ! )

MAJALAH

TS Seorang mantan model asal Indonesia yang biasa berpose bugil di majalah porno internasional yang kini bermukim di Singapura mengaku heran atas diijinkannya terbit majalah yang core bisnisnya pornografi di Indonesia.

Di beberapa negara Barat yang dikenal liberal terhadap nilai-nilai, meski memberi ijin terbit majalah porno tersebut, namun tetap membatasi gerak peredaran untuk melindungi anak. Sedang di Indonesia beberapa majalah yang memang core bisnisnya pornografi, mulai dari penerbitan hingga pendistribusian tak ada aturan main. Ketiadaan payung hukum selama inilah yang membuat masyarakat tak berdaya sewaktu menuntut majalah semisal ”Playboy”. Tiga kali maju ke pengadilan, tiga kali pula masyarakat kalah, karena KUHP yang digunakan tidak mampu menjerat pelaku. Pasal 281-281 tidak satupun mengatur pornografi, bahkan kata ” pornografi”pun tidak ada.Yang ada hanya frasa ” Merusak Kesopanan ” yang dalam KUHP dimaksudkan dengan ” Bersetubuh, meraba buah dada perempuan, kemaluan wanita, memperlihatlan anggota kemaluan ” dengan denda yang berkisar antara Rp 9.000,- ( Sembilan ribu rupiah ) sampai Rp 45.000,- ( Empat puluh lima ribu rupiah ).

GAMES

Hampir semua orang tua, membelikan anak mainan merupakan salah satu bentuk perwujudan kasih sayang. Celakanya kini tidak sedikit mainan yang justru menghancurkan anak itu sendiri. Contohnya playstations ( PS ). Banyak games-games di komputer dan PS yang luar biasa jorok semisal T

Games ini memaparkan wanita telanjang dan si T yang dimainkan pada keyboard untuk meloncat meraih wanita-wanita itu. Jika wanita tidak teraih, maka T akan kecemplung ke air, sebaliknya jika sudah menyelesaikan setiap level dengan sempurna, maka si T terlihat di layar menyetubuhi si wanita. Semakin tinggi levelnya semakin vulgar pula gambar dan adegan bersetubuhnya.

INTERNET

Menurut riset Top Ten Review 2006, rata-rata anak berkenalan dengan internet pornografi di usia 11 tahun. Konsumen pornografi di internet terbesar juga anak usia 12-17 tahun. 90% di antaranya mengaku ketika sedang mengerjalan pekerjaan rumah ( PR ).

Sebagian besar anak mengaku pertama kali mengakses situs porno secara tidak sengaja ketika sedang mencari ” suatu data ” yang diminta guru. Misalnya tentang binatang A, maka begitu diklik di internet ternyata yang keluar adalah gambar-gambar porno yang menjijikkan itu. Pasca disyahkannya Undang-Undang Pornografi, pornografer bukannya tiarap, tapi justru menantang dengan hadir dengan licik lewat clue berbagai peristiwa aktual yang kesohor, misalnya ketika hangat-hangatnya pelempatan sepatu terhadap Presiden Bush, maka mereka juga memakai nama tersebut.

Situs-situs yang dibuat oleh lembaga-lembaga/ masyarakat penggiat parenting dan kelompok anti porno, jika lengah sedikit sudah berganti content dengan hal sebaliknya.

Anak-anak dengan mudah bahkan tidak sengaja tersandung materi porno.

Data ini juga didukung oleh YKBH dan menurut pengakuan anak, pornografi ini mereka akses karena iseng, atau tak sengaja.

Saat ini penggunaan internet tidak saja menyentuh kota-kota besar. Namun hampir merata di tanah air, apalagi setelah beberapa tahun lalu Depdiknas bekerja sama dengan Depkominfo dan Depag, memfasilitasi sekolah-sekolah umum dan madrasah dengan perangkat internet. Tahun 2009-2010 dikampanyekan pula sebagai target penyediaaan fasilitas hotspot di sekolah-sekolah. Bahwa anak didik akan mudah mengakses informasi tidaklah salah, hanya saja kebijakan ini tidak dibarengi dengan proteksi akan bahaya yang mengancam. Misalnya dengan memblokir situs porno.

Di Indonesia, situs porno komersial yang pertama dimulai pada tahun 2000. namanya sebut saja X Meski servernya di Amerika, namun semua modelnya Melayu asli. Yang menyedihkan para model porno tega-teganya menyertakan simbol-simbol budaya Indonesia sebagai kamuflase, semisal model telanjang sedang memainkan alat musik tradisional dengan menyampirkan seular selendang hasil tenunan Nusantara. Lebih miris lagi, iuran keanggotaannya dapat ditransfer melalui sebuah bank nasional.

Pada tahun 2006 ( 6 tahun semenjak situs porno masuk ke tanah air ) tercatat 100.000 website pornografi made in Indonesia dari 4.200.000 situs porno dunia. Dari jumlah sekian tercatat 100 ribu website yang menawarkan ” child pornography ” dengan model sebagian besar anak-anak Indonesia. Beberapa tahun lalu seorang tokoh pornografernya pernah ditangkap di Bali, namun sebelum jaringan mereka terkuak, sang pelaku keburu bunuh diri di kamar tahanan.

Bisa dibayangkan berapa jumlah situs porno di Indonesia saat ini. Untuk produk amatir dengan local content pelajar saja pada tahun 2008 hingga awal 2009 sudah lebih dari 2 ribu, dan setiap bulannya bertambah wajah baru 100 %. Tak terhitung jumlahnya berapa banyak komunitas yang saling bertukar foto dan video atau berbagi cerita ”seru” di internet setiap detiknya. Kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE yang disahkan April 2008 telah melahirkan semangat baru untuk memberantas situs-situs ”berbisa ” bagi anak ini. Namun bisnis haram ini hanya sebulan lebih tiarap. Menurut kesaksian Pery Umar Farouk ketua Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera JBDK, situs-situs haram itu kini telah merajalela kembali bahkan lebih ganas. Bukan itu saja, beberapa situs porno berbayar masih eksis. Postingan orang dewasa dengan modus private content dari member Indonesia di situs jejaring sosial meningkat dua kali lipat. Sementara itu statistik dengan kata kunci berkonotasi seks, juga cenderung naik. Menurut catatan Goegletrends, kata kunci semisal ” Sex – Porno- XXX ”, di mana Indonesia sebelumnya berada di ranking 4, akhir tahun 2008 naik ke ranking 3. Untuk kata kunci sex idol seperti nama-nama artis yang terkenal menyandang simbol porno, ternyata Republik ini tetap berada di ranking pertama pengaksesnya. Yang lebih menyedihkan, kota pelajar Jogjakarta tetap di posisi atas dalam rekor sebagai pengakses pornografi terbesar, sementara Bandung dan Jakarta turun peringkat digantikan Semarang dan Palembang. Tahun 2009 Keprihatinan lebih memuncak, karena Depok tempa kampus yang merepresentasikan Indonesia, tiba-tiba muncul sebagai juara setelah Semarang, Jakarta. Jogyakarta, Denpasar, Medan, Bandung, dan Surabaya Nampaknya kehadiran Undang-Undang Pornografi serta UU Informatika dan Transaksi Elektronika belum berhasil membumi hanguskan penjahat pornografi. Masyarakat perlu berteriak lebih nyaring agar para pengemban amanah untuk menegakkan hukum harus bekerja lebih serius !

KORAN/TABLOID

Meski baru beberapa tahun mencium aroma demokrasi, namun tidak terbantahkan, bahwa pers kita dilindungi oleh payung hukum terliberal di dunia. Berlalu sudah masa pembredelan. Tidak ada lagi budaya telepon yang menggentarkan insan media. Semua bebas menerbitkan koran, majalah atau tabloid. Kalau ada yang merasa dirugikan atas suatu pemberitaan, seseorang tidak bisa menuntut apa-apa, kecuali hak jawab di edisi berikutnya.

Tidak heran situasi ini menjadi ladang subur untuk para pornografer. Selain menjamurnya media yang menjajakan gambar cabul, beberapa koran berita, juga tak malu-malu lagi mengiklankan pelacur dengan kedok pijat kesehatan. Iklan telepon ”esek-esek” juga melejit meningkatkan penggunaan pulsa untuk sesuatu hal yang tidak produktif, mubazir, selain tidak memikirkan resiko akan terbaca anak-anak di bawah umur dan mencoba menelepon ke nomor itu.

Di sebuah sekolah favorit di daerah Jakarta Timur, pernah terjadi hal yang menggemparkan. Seorang anak menceritakan kepada kawan-kawannya bahwa sekarang kalau mau mainan ada nomor telepon yang bisa dihubungi untuk mengikuti dan memenangkan kuis di sana. Katanya pernyataannya begitu mudah. Anak tersebut mengaku diberi tahu ’seseorang’ yang berjualan mainan dekat sekolah. Tak berapa lama tersiar kabar yang luas tentang kuis berhadiah tersebut. Anak-anak sekelas buru-buru pulang ke rumah dan mencoba menelepon ke nomor tersebut. Ternyata setelah menelepon, nomor tujuan menelepon balik ke rumah anak yang bersangkutan. ( Sepertinya pelaku sangat paham akan gaya hidup keluarga anak-anak di sekolah tersebut, bahwa di siang hari anak-anak hanya ditemani baby sitter atau pembantu ). Ketika menelepon balik, di pelaku minta bicara kepada pembantu anak anak yang menelepon tadi. Pelaku memberi tahu bahwa si anak sudah menelepon wanita panggilan, dengan biaya sekian juta. Kemudian si pelaku menakut-nakuti anak/pembantu untuk menelepon kembali agar rekening telepon tidak jadi membludak, dengan cara menggantung telepon selama 2 sampai 3 jam setelah memutar nomor si pelaku. Sudah pasti semua anak-anak ketakutan aksi isengnya tadi diketahui orang tua. Maka merekapun melakukan semua instruksi penipuan si pelaku. Maka bulan itu rekening telepon di rumah para korban melambung berjuta-juta, tidak seperti biasa. Para orang tua hanya bisa mengeluh menyesalkan kenapa ada orang yang tega menipu dan mencelakakan anak-anak hanya untuk mencari nafkah ? Tragisnya…para korban tidak tahu harus mengadu kepada siapa, dan secara hukum juga tidak berdaya karena tidak ada payung hukum yang adil, dan tegas melindungi.

NOVEL
Meski tidak begitu berperan banyak sebagai penyebar pornografi pada anak, namun di Indonesia kini tengah trend penulis muda membuat novel-novel bermuatan pornografis dengan dalih sastra.

Herannya sebagian besar mereka adalah anak-anak muda berjenis kelamin perempuan. Padahal pornografi di manapun, korban utama dan yang paling dirugikan adalah anak dan perempuan.

DIMANA MEREKA MENGAKSES ?

Menurut pengakuan 1705 anak SD di Jabodetabek yang disurvey YKBH, 35% mengakses dari warnet, sedang sisa terbanyak lainnya di rumah sendiri dan di rumah teman.

Kalau mau membuktikan tengoklah warnet-warnet di manapun. Jangankan pada jam sepulang sekolah, di saat jam sekolah pun warnet dipenuhi anak-anak berseragam. Ada di antara mereka yang mengaku kecanduan ”games” hingga sering menginap di warnet langganan mereka.

Anggaplah betul yang membuat mereka kecanduan adalah ”Games”, jangan kita langsung mereka aman, karena games sekarang tidak sedikit yang juga bermaterikan pornografis.

Picture is taken from here




Tidak ada komentar: